Wednesday, March 13, 2019

MENYIKAPI KEMATIAN



MENYIKAPI KEMATIAN

Mungkin banyak yang tidak suka mendengar kata “kematian” atau “mati”. Mungkin juga ramai yang menghindar dari mengingat kematian. Ketika ada di antara kita yang berbicara tentang kematian, mungkin ada teman yang nyeletuk, “Ih seram, ngomongin mati.” Ini karena mengingat mati mungkin menyebabkan lemahnya semangat, membuat selera patah, memadamkan gelora hawa nafsu sehingga seseorang tidak merasa bersemangat lagi menjalani hidup di dunia ini.

Adalah dimaklumi jika banyak yang tidak suka bicara soal kematian. Karena kematian adalah menakutkan. Umumnya setiap manusia takut mati, termasuk penulis artikel ini. Ketakutan terhadap disebabkan, berat berpisah dengan dunia. Kedua takut terhadap nasib di akhirat, jangan-jangan bukannya mendapat nikmat malah mendapat azab. Sebagian lagi mungkin belum siap menghadapi mati karena banyaknya dosa, belum sempat bertobat dan kurangnya amal ibadah.  

Kalau dipikir-dipikir, mengapa kita takut mendengar kata mati atau kematian? Atau kenapa kita takut mati? Bagaimanapun semua makhluk termasuk kita pasti mengalami kematian. Kematian bagaikan jalan yang, tidak dapat tidak, harus ditempuh oleh semua makhluk. Apakah dengan takut mati kita bisa menghindar dari kematian?

Jika kita menghindar dari mengingat dan membicarakan kematian, dalam Islam hal ini justru sesuatu yang positif. Karenanya Rasulullah SAW menganjurkan umatnya untuk sering-sering mengingat mati. Kenapa demikian? Mengingat mati adalah “alarm” pengingat bagi manusia yang lalai, leka dan terlena oleh kehidupan dunia sehingga melupakan kehidupan yang abadi yaitu kehidupan akhirat. Sibuk dengan kehidupan dunia kadang-kadang menyebabkan seseorang tidak ambil peduli dengan kewajibannya sebagai seorang hamba. Enggan menunaikan ibadah yang wajib seperti shalat, puasa, zakat dan haji dan sebagainya; dan malas membuat ibadah sunat. Lupa dengan kehidupan akhirat terkadang membuat seseorang tenggelam dalam perbuatan maksiat dan dosa seperti berjudi, mencuri, merampok, berzina, meminum minuman keras, memakai narkoba, menzalimi manusia, memakan riba; memelihara sifat-sifat tercela seperti iri, sombong, menghasut, memfitnah, mengadu-domba, dan sebagainya. 

Dalam kehidupan sehari-hari kita sering menyaksikan fenomena kematian. Mungkin salah seorang anggota keluarga kita, tetangga, kerabat, sahabat, teman, atau kenalan kita. Berita duka juga sering kita dapatkan di media baik cetak maupun elektronik. Apalagi di zaman yang canggih ini, kemajuan di bidang teknologi informasi dan komunikasi, kekerapan kita mendapat berita duka meningkat dari masa-masa sebelumnya. Kita menyaksikan berita duka yang dipos oleh sahabat-sahabat kita melalui facebook, twitter dan media-media sosial lainnya.

Bagaimanakah reaksi kita menyaksikan fenomena kematian? Adakah fenomena ini menarik perhatian kita atau hanya berlalu begitu saja tanpa meninggalkan kesan apa-apa di hati dan pikiran kita? Sebagai seorang mukmin, fenomena kematian yang kita saksikan di alam nyata atau berita duka yang kita dapatkan melalui media hendaknya menyentuh hati kita. Fenomena kematian yang kita saksikan hakikatnya adalah baik karena ia mengingatkan kita akan hari akhirat. Fenomena ini hendaknya menyentak kesadaran kita bahwa kita sebagai manusia, makhluk Allah SWT juga akan mengalami hal yang serupa. Walaupun kita tidak tahu kapan waktunya, tapi kematian pasti menyapa kita.
Peristiwa kematian yang kita saksikan hendaknya menggiring kita kepada sebuah perenungan yang mandalam. Bahwa dengan kematian berakhirlah episode kehidupan seorang bani Adam di dunia ini dan bermulanya episode baru yaitu alam kubur sebagai muqaddimah dari alam akhirat. Coba tanya diri kita, kira-kira bagaimanakah nasib saya di akhirat kelak? mendapat nikmat kah atau mendapat siksa dan azab? pertanyaan ini akan mendorong kita untuk melakukan perhitungan (muhasabah) terhadap apa yang telah kita perbuat selama ini.    

Cobalah lacak kembali rekam jejak perjalanan hidup kita selama ini. Bagaimanakah keimanan kita? sudahkan ia teguh dan kokoh? Untuk apa umur kita habiskan selama ini? Lebih banyakan mana, untuk dunia atau untuk akhirat? Bagaimanakah amal kita selama ini? Banyakan yang baik atau yang buruk? Bagaimanakah ibadah kita? Masih sedikit atau sudah banyak? Bagaimanakah hubungan kita dengan Allah SWT dan sesama manusia? Bayangkan berapa banyaknya dosa-dosa kita, betapa besarnya dosa kita, betapa sedikitnya amalan kita.  Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas akan memberi tahu kita bagaimana nasib kita di akhirat kelak.

Kemudian sadarkan diri kita, bahwa kalau kematian sudah menyapa dan jasad sudah berada di liang lahad, tiada waktu untuk mengejar ketertinggalan selama ini. Yang tinggal hanya penyelasan yang tiada berguna. Tanyalah diri kita, “sudah siapkah kau menghadapi mati?” “sudah cukupkah bekal untuk hari akhirat?”

Karena itu, sebelum ajal sampai, sebelum malaikat maut datang mencabut nyawa kita, kita masih memiliki waktu dan kesempatan untuk berbenah. Bertobat kepada Allah SWT, pohonlah ampunan-Nya atas segala kesalahan dan dosa-dosa yang telah kita lakukan selama ini dan berjanjilah untuk tidak mengulanginya lagi. Lalu sibukkan diri dengan ibadah dan amal saleh serta dekatkan diri kepada-Nya. Bersiaplah menghadapi kematian, sehingga kapanpun ia datang kita telah siap.

Langkah-langkah yang mesti segera dilakukan:
1.  Bertobat
2.  Menghindari maksiat (dosa)
3. Mensucikan rohani dari sifat-sifat tercela
4. Menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji
5. Mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan ibadah wajib dan memperbanyak ibadah sunat
6. Berbuat baik kepada sesama 
7. Manfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk hal-hal yang positif.

Tulisan ini juga sebagai bentuk mengingatkan diri sendiri.

Semoga bermanfaat.
Kuala Lumpur, 22 Rejab 1438
 19 April 2017


Tuesday, March 12, 2019

SANG MUSAFIR

Oleh: Ridwan Arif 

Di tengah teriknya matahari terlihat seorang musafir sedang berjalan. Langkahnya kelihatan berat. Meski perlahan, ia tetap berusaha melangkahkan kakinya. Ia berjalan menunduk dan sesekali mengangkat wajahnya. Kadang-kadang dia melihat jauh ke depan sambil mengernyitkan dahi. Dari mulutnya keluar ocehan, "Masih jauhkan perjalanan ini? Berapa lama lagikah aku akan sampai di tujuan?" Tiba-tiba bayangan masa lalu pun berkelabat di depan matanya. Duka-nestapa, halangan-rintangan, onak dan duri yang ditemuinya di awal perjalanan kembali melintas di pikirannya. Hampir saja kegetiran masa lalu itu membuatnya jatuh ke jurang keputus asaan. "Ah, tidak mungkin perjalanan ini kulanjutkan. Sungguh terasa berat dan sukar. Dari awal perjalanan hingga hari ini, bermacam-macam tantangan dan ujian yang ku hadapi. Rasanya aku sudah lelah. Sepertinya aku harus menghentikan perjalanan ini. Tak mungkin rasanya aku kan sampai di tujuan. Tak mungkin, tak mungkin." 

Tiba-tiba sebuah bisikan halus hadir dalam jiwanya, "Sir wa-jid wa-la taksal" (Lanjutkan perjalanan, bersungguh-sungguhlah dan jangan malas!). Bisikan itu terngiang-ngiang di telinganya. "Memang engkau telah lama berjalan dan banyak duka nestapa yang kau temui. Namun kegetiran itu sekarang telah berkurang sedikit-demi sedikit. Telah jauh perjalanan yang telah engkau lewati dan engkau telah dekat ke tujuanmu. Maka jangan malas dan putus asa. Bangkit, bangkit, ayo bangkit!" 

Ia tersentak dari lamunan. Bisikan itu telah membangkitkan jiwanya yang mulai melemah. Semangatnya kembali membara. Sang musafir pun mempercepat langkahnya bagaikan domba dikejar serigala. Ternyata bisikan itu telah membuat semangatnya kembali mendidih. Dia tepis bisikan-bisikan negatif yang mematahkan. Dia tidak menghiraukan ocehan-ocehan yang memudarkan cita-citanya. Walaupun badannya terasa sudah sangat lelah, namun dia tetap memacu langkahnya. Dengan langkah pasti ia teruskan perjalanan. Ia teringat kembali firman Tuhannya “Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya yang berputus asa dari rahmat Allah hanyalah orang-orang yang kafir”. Dia tersadar, “Sebagai seorang mu’min, saya tidak boleh putus asa. Tuhanku Maha Kuasa. Tiada yang mustahil bagi-Nya. Aku harus optimis, bahwa Allah Maha Kuasa menyampaikanku ke tujuan. Kewajibanku hanya berikhtiar semaksimal mungkin, berdoa dan bertawakkal. Bagaimanapun buruknya keadaan, aku tidak boleh pesimis,” gumamnya dalam hati.” Ia teringat sebuah kata-kata mutiara “Bagaimanapun gelapnya malam, fajar pasti kan menyingsing”.

Kuala Lumpur, Jum'at 8 Juli 2011, Jam 22.37