MENYIKAPI KEMATIAN
Mungkin banyak yang tidak suka mendengar kata “kematian” atau
“mati”. Mungkin juga ramai yang menghindar dari mengingat kematian. Ketika ada
di antara kita yang berbicara tentang kematian, mungkin ada teman yang
nyeletuk, “Ih seram, ngomongin mati.” Ini karena mengingat mati mungkin
menyebabkan lemahnya semangat, membuat selera patah, memadamkan gelora hawa
nafsu sehingga seseorang tidak merasa bersemangat lagi menjalani hidup di dunia
ini.
Adalah dimaklumi jika banyak yang tidak suka bicara soal kematian.
Karena kematian adalah menakutkan. Umumnya setiap manusia takut mati, termasuk
penulis artikel ini. Ketakutan terhadap disebabkan, berat berpisah dengan
dunia. Kedua takut terhadap nasib di akhirat, jangan-jangan bukannya mendapat
nikmat malah mendapat azab. Sebagian lagi mungkin belum siap menghadapi mati
karena banyaknya dosa, belum sempat bertobat dan kurangnya amal ibadah.
Kalau dipikir-dipikir, mengapa kita takut mendengar kata mati atau
kematian? Atau kenapa kita takut mati? Bagaimanapun semua makhluk termasuk kita
pasti mengalami kematian. Kematian bagaikan jalan yang, tidak dapat tidak,
harus ditempuh oleh semua makhluk. Apakah dengan takut mati kita bisa
menghindar dari kematian?
Jika kita menghindar dari mengingat dan membicarakan kematian, dalam
Islam hal ini justru sesuatu yang positif. Karenanya Rasulullah SAW
menganjurkan umatnya untuk sering-sering mengingat mati. Kenapa demikian? Mengingat
mati adalah “alarm” pengingat bagi manusia yang lalai, leka dan terlena
oleh kehidupan dunia sehingga melupakan kehidupan yang abadi yaitu kehidupan
akhirat. Sibuk dengan kehidupan dunia kadang-kadang menyebabkan seseorang tidak
ambil peduli dengan kewajibannya sebagai seorang hamba. Enggan menunaikan
ibadah yang wajib seperti shalat, puasa, zakat dan haji dan sebagainya; dan
malas membuat ibadah sunat. Lupa dengan kehidupan akhirat terkadang membuat
seseorang tenggelam dalam perbuatan maksiat dan dosa seperti berjudi, mencuri,
merampok, berzina, meminum minuman keras, memakai narkoba, menzalimi manusia,
memakan riba; memelihara sifat-sifat tercela seperti iri, sombong, menghasut,
memfitnah, mengadu-domba, dan sebagainya.
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering menyaksikan fenomena
kematian. Mungkin salah seorang anggota keluarga kita, tetangga, kerabat,
sahabat, teman, atau kenalan kita. Berita duka juga sering kita dapatkan di
media baik cetak maupun elektronik. Apalagi di zaman yang canggih ini, kemajuan
di bidang teknologi informasi dan komunikasi, kekerapan kita mendapat berita duka
meningkat dari masa-masa sebelumnya. Kita menyaksikan berita duka yang dipos
oleh sahabat-sahabat kita melalui facebook, twitter dan media-media sosial
lainnya.
Bagaimanakah reaksi kita menyaksikan fenomena kematian? Adakah fenomena
ini menarik perhatian kita atau hanya berlalu begitu saja tanpa meninggalkan
kesan apa-apa di hati dan pikiran kita? Sebagai seorang mukmin, fenomena
kematian yang kita saksikan di alam nyata atau berita duka yang kita dapatkan
melalui media hendaknya menyentuh hati kita. Fenomena kematian yang kita
saksikan hakikatnya adalah baik karena ia mengingatkan kita akan hari akhirat.
Fenomena ini hendaknya menyentak kesadaran kita bahwa kita sebagai manusia,
makhluk Allah SWT juga akan mengalami hal yang serupa. Walaupun kita tidak tahu
kapan waktunya, tapi kematian pasti menyapa kita.
Peristiwa kematian yang kita saksikan hendaknya menggiring kita kepada
sebuah perenungan yang mandalam. Bahwa dengan kematian berakhirlah episode
kehidupan seorang bani Adam di dunia ini dan bermulanya episode baru yaitu alam
kubur sebagai muqaddimah dari alam akhirat. Coba tanya diri kita, kira-kira
bagaimanakah nasib saya di akhirat kelak? mendapat nikmat kah atau mendapat
siksa dan azab? pertanyaan ini akan mendorong kita untuk melakukan perhitungan
(muhasabah) terhadap apa yang telah kita perbuat selama ini.
Cobalah lacak kembali rekam jejak perjalanan hidup kita selama ini.
Bagaimanakah keimanan kita? sudahkan ia teguh dan kokoh? Untuk apa umur kita
habiskan selama ini? Lebih banyakan mana, untuk dunia atau untuk akhirat? Bagaimanakah
amal kita selama ini? Banyakan yang baik atau yang buruk? Bagaimanakah ibadah
kita? Masih sedikit atau sudah banyak? Bagaimanakah hubungan kita dengan Allah
SWT dan sesama manusia? Bayangkan berapa banyaknya dosa-dosa kita, betapa
besarnya dosa kita, betapa sedikitnya amalan kita. Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas
akan memberi tahu kita bagaimana nasib kita di akhirat kelak.
Kemudian sadarkan diri kita, bahwa kalau kematian sudah menyapa dan
jasad sudah berada di liang lahad, tiada waktu untuk mengejar ketertinggalan
selama ini. Yang tinggal hanya penyelasan yang tiada berguna. Tanyalah diri
kita, “sudah siapkah kau menghadapi mati?” “sudah cukupkah bekal untuk hari
akhirat?”
Karena itu, sebelum ajal sampai, sebelum malaikat maut datang
mencabut nyawa kita, kita masih memiliki waktu dan kesempatan untuk berbenah. Bertobat
kepada Allah SWT, pohonlah ampunan-Nya atas segala kesalahan dan dosa-dosa yang
telah kita lakukan selama ini dan berjanjilah untuk tidak mengulanginya lagi. Lalu
sibukkan diri dengan ibadah dan amal saleh serta dekatkan diri kepada-Nya. Bersiaplah
menghadapi kematian, sehingga kapanpun ia datang kita telah siap.
Langkah-langkah yang mesti segera dilakukan:
1. Bertobat
2. Menghindari maksiat
(dosa)
3. Mensucikan rohani dari sifat-sifat tercela
4. Menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji
5. Mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan ibadah wajib dan memperbanyak ibadah sunat
6. Berbuat baik kepada sesama
7. Manfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk hal-hal yang positif.
3. Mensucikan rohani dari sifat-sifat tercela
4. Menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji
5. Mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan ibadah wajib dan memperbanyak ibadah sunat
6. Berbuat baik kepada sesama
7. Manfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk hal-hal yang positif.
Tulisan ini juga sebagai bentuk mengingatkan diri sendiri.
Semoga bermanfaat.
Kuala
Lumpur, 22 Rejab 1438
19 April 2017