Thursday, August 8, 2019

MENAPAKI SEJARAH PENYEBARAN ISLAM DI NUSANTARA: CATATAN PERJALANAN KE PATANI, SELATAN THAILAND

MENAPAKI SEJARAH PENYEBARAN ISLAM DI NUSANTARA: CATATAN PERJALANAN KE PATANI, SELATAN THAILAND
Oleh: Ridwan Arif, Ph.D, Tk. Bandaro
(Bagian Satu)


Pattani: Salah Satu Pusat Penyebaran Islam di Nusantara
Nama Pattani (dalam bahasa Thailand dan Fathani dalam tulisan Arab Melayu) sudah lama saya kenal. Ini karena, selain pernah punya teman sewaktu kuliah Master (S2) di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), saya pernah tinggal cukup lama di Malaysia. Tentu saja nama Pattani cukup familiar bagi saya karena, walaupun tidak berbatasan langsung dengan Malaysia, Pattani adalah salah satu provinsi (di selatan Thailand, disebut wilayah) di kawasan SelatanThailand yang berdekatan dengan perbatasan Malaysia-Thailand.

Walau cukup lama tinggal di Malaysia, selama kurun waktu tersebut saya tidak pernah mengunjungi Pattani. Kota di kawasan Selatan Thailand yang pernah saya kunjungi hanyalah Hat Yai, sebuah kota metropolitan dan terbesar di provinsi Songkla (kalau tidak salah tahun 2008), sebuah provinsi bersebelahan dengan Pattani. Salah satu faktor yang membuat saya menunda niat mengunjungi Pattani ialah negeri ini pada waktu itu sedang berada dalam konflik yang dipicu oleh ketegangan antara pejuang Muslim separatis Pattani dengan kerajaan Thailand.

Pattani cukup menarik perhatian saya. Ini karena, selain sebagai salah wilayah berpenduduk mayoritas Muslim di samping Yala dan Narathiwat, ia juga merupakan serambi Mekkahnya Thailand. Sejarah perkembangan Islam di Asia Tenggara (Nusantara) mencatat Pattani sebagai salah satu pusat penyebaran Islam terawal di kawasan ini. Sebutan Nusantara sendiri mencakup propinsi-propinsi di selatan Thailand yang salah satunya adalah Pattani. Sejak dulu di negeri ini banyak berdiri institusi pendidikan Islam yang dikenal dengan istilah “pondok”. Negeri ini juga melahirkan ramai ulama besar yang tidak hanya dikenal di Nusantara, tetapi juga di Timur Tengah. Ramai ulama dari Pattani yang merupakan alumni Timur Tengah (terutama Makkah-Madinah). Pada masa dahulu, di Makkah, para pemuda pelajar asal Nusantara dikenal dengan istilah “orang Jawa” (Jawi). Bahkan di antara pelajar Pattani, ada yang kemudian bermukim dan menjadi guru di Masjidil Haram, Mekkah al-Mukarramah sebagaimana pelajar-pelajar dari daerah lain di Nusantara. Kita baca riwayat hidup ulama-ulama besar di Sumatera, Kalimantan dan Jawa pada awal abad ke-20, sewaktu belajar di Makkah-Madinah, di antara guru mereka adalah Ulama yang berasal dari Pattani dan Kelantan.

Di antara ulama Pattani yang terkenal ialah Syekh Daud bin Abdullah al-Fathani. Beliau adalah salah seorang ulama besar Nusantara terkemuka abad ke-18/19 yang kemasyhurannya selevel dengan Syekh Abdul Samad al-Falimbani (Pengarang Kitab Sair al-Salikin) dari Palembang, Syekh Arsyad al-Banjari (Pengarang Kitab Perukunan) dan Syekh Muhammad Nafis al-Banjari (pengarang Kitab Al-Durr al-Nafis). Dua ulama terakhir berasal dari Banjarmasin, Kalimantan Barat. Selain ahli dalam berbagai ilmu keislaman Syekh Daud al-Fathani juga seorang penulis yang prolifik (pengarang produktif). Sampai saat ini, kitab-kitab karangannya masih diterbitkan dan bisa didapatkan di toko-toko buku di Thailand Selatan, Kelantan dan Kuala Lumpur. Tidak berlebihan jika Prof. Azyumardi Azra menyatakan, Syekh Daud al-Fathani adalah ulama Nusantara paling produktif di zamannya. Alhamdulillah saya mengoleksi beberapa karya beliau. Diriwayatkan, Syekh Daud al-Fathani menganut Tarekat Syattariah dalam bidang tasawuf. 

Zaman berikutnya, ramai muncul ulama-ulama besar sekaligus pengarang yang muncul di Pattani. Salah seorang tokoh ulama lain yang menonjol dari Pattani adalah Syekh Wan Ahmad al-Fathani. Menurut Tuan Guru Wan Mohd. Shagir Abdullah (selanjutnya disebut TG Shaghir), seorang yang mengabdikan umurnya untuk meneliti khazanah intelektual ulama Nusantara dan sekaligus cucu Syekh Wan Ahmad, Syekh Wan Ahmad adalah ulama Nusantara yang berjasa mengusahakan penerbitan karya ulama-ulama Nusantara di Timur Tengah. Syekh Wan Ahmad, jelas TG Shaghir, melobi dan berusaha meyakinkan Sultan Turki waktu itu agar mau mensponsori penerbitan karya-karya tersebut. Usaha Syekh ini membawa hasil dengan diterbitkannya karya-karya ulama Nusantara di Kairo, Mesir. Syekh Wan Ahmad tidak hanya mengusahakan penerbitan tetapi juga menjadi penyunting (editor atau pentashih) naskah-naskah tersebut sebelum dicetak. Itulah awal kisah penerbitan karya-karya ulama Nusantara di Timur Tengah dan beredar di dunia Islam, walau karya-karya tersebut ditulis dalam bahasa Melayu (tulisan Jawi/ Arab-Melayu). Salah satu kitab yang termasuk dalam cetakan ini ialah kitab Tafsir Turjuman al-Mustafid karya Syekh Abdul Ra’uf al-Fanshuri (al-Sinkili) yang merupakan kitab Tafsir al-Qur’an lengkap yang pertama dalam Bahasa Melayu.

TG Shaghir (w. 2007), sangat berjasa memperkenalkan ulama-ulama Pattani khususnya, Semenajung Tanah Melayu dan Nusantara umumnya, ke dunia Islam dan melestarikan karya-karya mereka. Untuk mencapai misinya TG Shaghir mendirikan lembaga “Khazanah Fathaniah” sebuah lembaga penelitian dan penerbitan yang berpusat di Kuala Lumpur. Lembaga ini juga mendirikan toko buku yang menjual kitab-kitab ulama Nusantara yang telah diterbitkan kembali. Selain itu, Khazanah Fathaniah mengadakan program kajian karya ulama Nusantara, dengan mengundang ulama-ulama dengan latar belakang pendidikan pondok (Pesantren) mengkaji kitab tertentu karya ulama-ulama Nusantara dalam berbagai disiplin ilmu Keislaman. TG Shaghir mengabdikan dirinya dan menghabiskan umurnya hanya untuk meneliti, mengkaji ulama-ulama Nusantara (termasuk Indonesia) dan melestarikan karya-karya mereka. (Uraian lebih detail tentang Ust. Wan Mohd. Shaghir Abdullah dan pengabdiannya terhadap ulama Nusantara dan karya-karya mereka, insyaallah akan saya tulis dalam tulisan tersendiri).

2 comments: