MENAPAKI SEJARAH PENYEBARAN ISLAM
DI NUSANTARA: CATATAN PERJALANAN KE PATANI,
SELATAN THAILAND
Oleh: Ridwan
Arif, Ph.D, Tk. Bandaro
(Bagian Satu)
Pattani: Salah Satu Pusat
Penyebaran Islam di Nusantara
Nama
Pattani (dalam bahasa Thailand dan Fathani dalam tulisan Arab Melayu) sudah
lama saya kenal. Ini karena, selain pernah punya teman sewaktu kuliah Master
(S2) di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), saya pernah tinggal cukup lama di
Malaysia. Tentu saja nama Pattani cukup familiar
bagi saya karena, walaupun tidak berbatasan langsung dengan Malaysia, Pattani
adalah salah satu provinsi (di selatan Thailand, disebut wilayah) di kawasan SelatanThailand
yang berdekatan dengan perbatasan Malaysia-Thailand.
Walau
cukup lama tinggal di Malaysia, selama kurun waktu tersebut saya tidak pernah
mengunjungi Pattani. Kota di kawasan Selatan Thailand yang pernah saya kunjungi
hanyalah Hat Yai, sebuah kota metropolitan dan terbesar di provinsi Songkla
(kalau tidak salah tahun 2008), sebuah provinsi bersebelahan dengan Pattani.
Salah satu faktor yang membuat saya menunda niat mengunjungi Pattani ialah
negeri ini pada waktu itu sedang berada dalam konflik yang dipicu oleh
ketegangan antara pejuang Muslim separatis Pattani dengan kerajaan Thailand.
Pattani
cukup menarik perhatian saya. Ini karena, selain sebagai salah wilayah berpenduduk
mayoritas Muslim di samping Yala dan Narathiwat, ia juga merupakan serambi
Mekkahnya Thailand. Sejarah perkembangan Islam di Asia Tenggara (Nusantara) mencatat
Pattani sebagai salah satu pusat penyebaran Islam terawal di kawasan ini.
Sebutan Nusantara sendiri mencakup propinsi-propinsi di selatan Thailand yang salah
satunya adalah Pattani. Sejak dulu di negeri ini banyak berdiri institusi
pendidikan Islam yang dikenal dengan istilah “pondok”. Negeri ini juga
melahirkan ramai ulama besar yang tidak hanya dikenal di Nusantara, tetapi juga
di Timur Tengah. Ramai ulama dari Pattani yang merupakan alumni Timur Tengah
(terutama Makkah-Madinah). Pada masa dahulu, di Makkah, para pemuda pelajar asal
Nusantara dikenal dengan istilah “orang Jawa” (Jawi). Bahkan di antara pelajar Pattani, ada yang kemudian bermukim
dan menjadi guru di Masjidil Haram, Mekkah al-Mukarramah sebagaimana
pelajar-pelajar dari daerah lain di Nusantara. Kita baca riwayat hidup
ulama-ulama besar di Sumatera, Kalimantan dan Jawa pada awal abad ke-20,
sewaktu belajar di Makkah-Madinah, di antara guru mereka adalah Ulama yang
berasal dari Pattani dan Kelantan.
Di
antara ulama Pattani yang terkenal ialah Syekh Daud bin Abdullah al-Fathani.
Beliau adalah salah seorang ulama besar Nusantara terkemuka abad ke-18/19 yang kemasyhurannya
selevel dengan Syekh Abdul Samad al-Falimbani (Pengarang Kitab Sair al-Salikin)
dari Palembang, Syekh Arsyad al-Banjari (Pengarang Kitab Perukunan) dan Syekh
Muhammad Nafis al-Banjari (pengarang Kitab Al-Durr al-Nafis). Dua ulama
terakhir berasal dari Banjarmasin, Kalimantan Barat. Selain ahli dalam berbagai
ilmu keislaman Syekh Daud al-Fathani juga seorang penulis yang prolifik
(pengarang produktif). Sampai saat ini, kitab-kitab karangannya masih
diterbitkan dan bisa didapatkan di toko-toko buku di Thailand Selatan, Kelantan
dan Kuala Lumpur. Tidak berlebihan jika Prof. Azyumardi Azra menyatakan, Syekh
Daud al-Fathani adalah ulama Nusantara paling produktif di zamannya. Alhamdulillah
saya mengoleksi beberapa karya beliau. Diriwayatkan, Syekh Daud al-Fathani
menganut Tarekat Syattariah dalam bidang tasawuf.
Zaman
berikutnya, ramai muncul ulama-ulama besar sekaligus pengarang yang muncul di
Pattani. Salah seorang tokoh ulama lain yang menonjol dari Pattani adalah Syekh
Wan Ahmad al-Fathani. Menurut Tuan Guru Wan Mohd. Shagir Abdullah (selanjutnya
disebut TG Shaghir), seorang yang mengabdikan umurnya untuk meneliti khazanah
intelektual ulama Nusantara dan sekaligus cucu Syekh Wan Ahmad, Syekh Wan Ahmad
adalah ulama Nusantara yang berjasa mengusahakan penerbitan karya ulama-ulama Nusantara
di Timur Tengah. Syekh Wan Ahmad, jelas TG Shaghir, melobi dan berusaha
meyakinkan Sultan Turki waktu itu agar mau mensponsori penerbitan karya-karya
tersebut. Usaha Syekh ini membawa hasil dengan diterbitkannya karya-karya ulama
Nusantara di Kairo, Mesir. Syekh Wan Ahmad tidak hanya mengusahakan penerbitan
tetapi juga menjadi penyunting (editor atau pentashih) naskah-naskah tersebut
sebelum dicetak. Itulah awal kisah penerbitan karya-karya ulama Nusantara di
Timur Tengah dan beredar di dunia Islam, walau karya-karya tersebut ditulis dalam
bahasa Melayu (tulisan Jawi/ Arab-Melayu). Salah satu kitab yang termasuk dalam
cetakan ini ialah kitab Tafsir Turjuman
al-Mustafid karya Syekh Abdul Ra’uf al-Fanshuri (al-Sinkili) yang merupakan
kitab Tafsir al-Qur’an lengkap yang pertama dalam Bahasa Melayu.
TG
Shaghir (w. 2007), sangat berjasa memperkenalkan ulama-ulama Pattani khususnya,
Semenajung Tanah Melayu dan Nusantara umumnya, ke dunia Islam dan melestarikan
karya-karya mereka. Untuk mencapai misinya TG Shaghir mendirikan lembaga
“Khazanah Fathaniah” sebuah lembaga penelitian dan penerbitan yang berpusat di Kuala
Lumpur. Lembaga ini juga mendirikan toko buku yang menjual kitab-kitab ulama
Nusantara yang telah diterbitkan kembali. Selain itu, Khazanah Fathaniah
mengadakan program kajian karya ulama Nusantara, dengan mengundang ulama-ulama
dengan latar belakang pendidikan pondok (Pesantren) mengkaji kitab tertentu
karya ulama-ulama Nusantara dalam berbagai disiplin ilmu Keislaman. TG Shaghir
mengabdikan dirinya dan menghabiskan umurnya hanya untuk meneliti, mengkaji
ulama-ulama Nusantara (termasuk Indonesia) dan melestarikan karya-karya mereka.
(Uraian lebih detail tentang Ust. Wan Mohd. Shaghir Abdullah dan pengabdiannya
terhadap ulama Nusantara dan karya-karya mereka, insyaallah akan saya tulis
dalam tulisan tersendiri).
Mantap...
ReplyDeleteMudahan dilancarkan Allah niat baik unku����
ReplyDelete