Wednesday, August 14, 2019

Menapaki Sejarah Penyebaran Islam di Nusantara: Catatan Perjalanan Ke Patani, Thailand Selatan (Bagian Empat-Habis)








Perkenalan dengan Sejarawan Pattani

Dalam obrolan sepulang shalat jum’at, Baba Abdul Karim menyebut nama Baba Ismail Ishaq sebagai seorang ahli sejarah di Pattani. Tidak lama berselang beliau langsung menelpon Baba Ismail dan mengatakan, “Kita kedatangan seorang tamu dari Indonesia yang ingin menziarahi pondok-pondok di pattani dan ingin melakukan penelitian.” Kemudian Baba Abdul Karim memberikan handphone-nya ke saya, mengisyaratkan agar saya berbicara langsung dengan Baba Ismail. Melalui telepon, saya pun berkenalan dengan Baba Ismail. Baba Ismail berkenan datang ke pondok untuk bertemu dengan saya. Ia berjanji untuk datang besok pagi. Beliau juga menawarkan diri untuk memberikan bantuan yang diperlukan. Agenda esok paginya ialah menghadiri pengajian rutin di Masjid Jami’ Pattani yang akan diisi oleh Baba Ismail Sepanjang, pimpinan Pondok Sepanjang dan salah seorang ulama kharismatik di Pattani saat ini. Selanjutnya Baba Ismail akan menemani saya mengunjungi Pondok Dale, salah satu pondok besar di Pattani.

Manusia punya rencana, Allah jua yang memutuskan. Pagi itu saya diberitahu oleh Ustadz Abdul Qadir bahwa Baba Ismail tidak jadi datang. Acara pengajian di Masjid Jami’ batal karena ada sesuatu hal. Selain itu Baba Ismail kedatangan tamu di rumahnya. Baba Ismail menelpon saya, ia menyarankan saya untuk ikut rombongan ustadz dari pondok ke sebuah pondok tahfidz di Kampong Biara Tok Pasai pada sore hari nanti dan bertemu dengannya di sana. Sore itu akan diadakan rapat pengurus inti Persatuan Ulama tiga wilayah (Pattani, Yala dan Narathiwat) untuk membicarakan agenda safari (khuruj) yang akan diadakan pada minggu berikutnya. Sebelum shalat ‘ashar saya berangkat bersama Baba Abdul Karim dan Ustadz Abdul Qadir ke pondok tahfizh tersebut. Alhamdulillah saya bertemu dengan baba Ismail di pondok ini. saya mengikuti rapat ini sampai menjelang masuknya waktu shalat Maghrib.   
Setelah Rapat usai, kami berangkat menuju rumaha Baba Ismail. Baba Ismail hanya mampir sebentar dan langsung mengajak saya shalat maghrib di sebuah masjid baru, tidak jauh dari rumahnya. Setelah shalat, Baba Ismail menjelaskan nama kampong tersebut, yaitu Kampong Biara Tok Pasai. Kenapa biara? Karena sebelum Islam masuk ke Pattani, di kampong ini dulunya ada sebuah biara. Kenapa Tok Pasai? Tok Pasai adalah panggilan bagi Syekh Muhammad Sa’id yang berasal dari Yaman, tetapi sebelumnya berdakwah di Pasai, Aceh. Ulama ini dipandang sebagai pendakwah terawal ke Pattani. Syekh inilah yang mengislamkan raja Hindu Pattani masa itu, Phya Tu Nakpa Putra Phya Tu Jandra Mahayana.  Setelah memeluk Islam (1457), sang syekh menukar nama raja tersebut dengan Sultan Ismail Shah.

Setelah shalat maghrib, Baba Ismail mengajak saya makan malam di sebuah restoran. Kami menaiki mobil yang dikendarai oleh puteranya, Ustadz Hawari, yang baru saja tamat S1 di Al-Azhar, Kairo, Mesir. Sambil makan, Baba Ismail mulai bercerita tentang sejarah Pattani. Menurutnya sejak abad ke-6 Pattani sudah menjadi kerajaan besar dan memiliki peradaban yang tinggi dengan nama Kerajaan Langkasuka. Beliau menemukan bukti di sebuah buku yang ditemukannya di Bangkok yang berjudul, The Ancient City. Dalam buku tersebut diriwayatkan, pada 541 M kerajaan Langkasuka mengirim duta untuk mengunjungi kerajaan Cina. Raja Cina waktu itu menyuruh pelukis istana untuk melukis peta Pattani. Menurut buku tersebut, lukisan tersebut masih tersimpan di National Museum of China, di Beijing. Beliau juga menceritakan asal usul Maulana Malik Ibrahim (Sunan Ampel) yang menurutnya, berasal dari (ibu) Pattani dan (ayah) Champa. Beliau menganalisis nama Kerisik (yang dulunya nama tempat berdirinya istana Kesultanan Islam Pattani) dengan Gresik, tempat menetapnya Sunan Ampel di Jawa Timur. Berdasarkan hal ini, beliau berpendapat Sunan Ampel memberi nama tempatnya di Jawa sesuai dengan nama tempat tinggal sebelumnya (Kerisik, Pattani).  

Baba Ismail adalah seorang ahli sejarah Pattani khususnya, Nusantara umunya yang sering diundang sebagai nara sumber pada seminar-seminar terutama di Thailand dan Malaysia. Kecintaan adik ipar mantan Sekjen ASEAN, Surin Pitsuwan ini kepada sejarah Islam di Pattani terbukti dengan upayanya untuk menubuhkan Pusat Pemulihan Seni Budaya dan Sejarah Tempatan Wilayah Sempadan Selatan Thailand (PUSTA), di mana beliau sendiri sebagai presidennya. Selain membicarakan sejarah, beliau juga menceritakan hubungan dekatnya dengan alm. Ustadz Wan Mohd Saghir Abdullah, sang peneliti sejarah Islam, ulama dan manuskrip Nusantara. Ia menyebut Ustadz Wan Saghir sebagai gurunya. Ia juga menceritakan persahabatannya dengan Bapak Ahmad Mansur Suryanegara, sang penulis buku Api Sejarah yang terkenal di Indonesia. Baba Ismail bercerita, beliau menemani Ahmad Mansur mengunjungi tempat-tempat bersejarah di Pattani ketika yang terakhir melawat Pattani beberapa tahun yang lalu. Selain itu ia juga menceritakan pengalamannya mengunjungi beberapa daerah di Indonesia.

Setelah berdiskusi cukup panjang, malam itu saya di antar Baba Ismail ke sebuah hotel di pusat kota. Beliau berjanji menjemput saya pagi esok hari jam 6.30 dan mengantarkan saya ke terminal bus menuju Sungai Golok, perbatasan Thailand-Malaysia. Dalam perjalanan ke hotel, saya sempat diajak muter-muter dalam kompleks kampus Prince Songkhla of University, sebuah perguruan tinggi negeri terbesar di Pattani.  

Masjid Kerisik    
Sesuai dengan janjinya, jam 6.30 tepat, Baba Ismail sudah sampai di hotel. Dari hotel beliau mengajak saya sarapan di sebuah kedai dalam kota. Setelah sarapan, Ustadz Hawari bertanya apakah saya sudah mengunjungi masjid kerisik? saya jawab, belum. “Baik, sebelum ke terminal, kita singgah ke sana sebentar,” kataya. Saya berkata dalam hati, “memang dari kemarin saya ingin mengunjungi masjid bersejarah tersebut”. Namun karena kesuntukan masa, sepertinya saya tidak sempat lagi. Alhamdulillah Allah masih memberi saya kesempatan untuk mengunjungi masjid tua tersebut.
Sesampaimya di pekarangan Masjid Kerisik, Baba Ismail menjelaskan masjid ini didirikan pada tahun 1583,  pada masa pemerintahan Sultan Muzhafar Shah, putra Sultan Ismail Shah (Sultan Pattani yang pertama memeluk Islam). Karena itu masjid ini dikenal juga dengan nama Masjid Sultan Muzhafar Shah. Pada masa dahulu, masjid ini berada dalam kompleks Istana Kesultanan Pattani. Tidak jauh dari masjid ada sebuah sumur yang diberi nama Telaga Hang Tuah. Menurut Baba Ismail, Sultan Pattani memerintahkan rakyatnya membuat telaga tersebut pada saat Hang Tuah, panglima Kesultana Islam Melaka yang terkenal mengunjungi Pattani. Ini sebagai kenangan yang akan menjadi bukti sejarah kunjungan Hang Tuah ke Pattani. Untuk itu, nama Hang Tuah diabadikan pada sumur tersebut.

Di belakang papan nama masjid ditulis sejarah ringkas Masjid Kerisik. Di antara yang menarik adalah, bangunan masjid menggunakan batu bata merah yang dibuat dari tanah liat dicampur beras merah yang ditumbuk halus dan dicampur putih telur. Ini menunjukkan kearifan lokal (local genius) dan ketinggian peradaban Melayu Pattani waktu itu. Di halaman masjid terdapat replica meriam milik masyarakat Pattani. Ternyata Pattani pernah memiliki peradaban yang maju. Terbukti mereka sudah mampu memproduksi meriam pada suatu masa dahulu. Menurut Baba Ismail, meriam yang asli di bawa pihak kerajaan Thailand ke Bangkok dan disimpan di sebuah museum.
Baba Ismail juga menceritakan peristiwa berdarah April 2004 di masjid tua ini di mana 32 orang pejuang Muslim Pattani yang tewas setelah dibom oleh tentara kerajaan Thailand. Namun, ajaibnya, hanya atap masjid yang rusak, sedangkan dinding masjid tetap utuh. Setelah sedikit puas mendengarkan uraian Baba Ismail dan mengambil foto secukupnya, saya diantar ke terminal bus. Dari terminal ini saya menaiki van menuju Sungai Golok, perbatasan Thailand-Malaysia.








No comments:

Post a Comment