Misi
saya untuk meneliti sistem pendidikan di lembaga pendidikan tradisional
(pondok) di Pattani hampir saja kandas. Pada awalnya ada rasa sedikit pesimis.
Hampir saja perjalanan ke kota ini hampa, tak membuahkan hasil apa-apa. Ini
karena sahabat yang sedianya saya ajak untuk menemani ke pondok tidak bersedia.
“Saya bukan orang asli Pattani. Kalau saya datang ke pondok, orang akan
mengenal dialek Melayu saya yang lain dari dialek Pattani. Saya asal Hat Yai
bukan dari Pattani. Nanti orang curiga saya ini askar (tentara) atau intelijen,”
begitu alasan sang sahabat. Menurutnya, panasnya suasana Pattani menyebabkan
kecurigaan yang tinggi masyarakt lokal terhadap orang luar wilayah. Selain
sukarnya transportasi umum di kota Pattani. Tidak ada angkutan kota (angkot),
taksi dan buskota. Transportasi umum hanya Tuk-tuk,
sejenis mobil kecil seperti “cigak baruak”
di pedesaan Sumatera Barat. Situasi yang panas di Pattani juga membuat saya
mengurungkan niat untuk bepergian sendirian, walaupun daftar nama-nama pondok di
Pattani, lengkap dengan alamatnya, sudah saya kantongi.
Setelah
tinggal dua hari di Pattani, pagi itu (Jumat, 25 Januari 2019), saya memutuskan
untuk berangkat ke Kelantan, tempat tujuan penelitian selanjutnya. Berkat
bantuan resepsionis hotel, saya dipesankan kendaraan motor (semacam ojek) untuk
mengantar ke terminal bus menuju perbatasan Thailand-Malaysia. Dalam perkenalan
dan percakapan dengan tukang ojek saya menjelaskan maksud kedatangan saya ke Pattani.
Dia memberitahu saya bahwa ada pondok yang lokasinya tidak jauh dari sini dan
dia bisa mengantar saya ke sana. Saya merasa sangat senang dan bersyukur.
Akhirnya misi saya tercapai juga. Tukang ojek tersebut mengantarkan saya ke
sebuah pondok yang letaknya sedikit di luar batas kota. Pondok tersebut ialah Al-Ma’had
al-Idris yang lebih masyhur dengan Pondok Tok Yung. Di pondok ini saya langsung
bertemu dan disambut dengan ramah oleh pimpinan pondok, Baba Haji Abdul Karim.
Baba
Abdul Karim menceritakan, pondok ini didirikan oleh bapak mertuanya, Tuan Guru
Baba Haji Wan Idris Bin Haji Wan Ali pada tahun 1390. Menurutnya, Baba Wan Idris
melanjutkan pelajarannya ke Makkah setelah mendapatkan pendidikan agama di
beberapa pondok di Pattani selama 12 tahun. Di antara guru Baba Wan Idris di Makkah
ialah Syekh Muhammad Yasin al-Fadani, ulama besar kaliber internasional yang
digelari Musnid al-Dunya dan putra dari Syekh Isa (berasal dari Kayu Tanam, Kab.
Padang Pariaman, Sumatera Barat) dan; Syekh Abdul Qadir al-Mandili, seorang
ulama besar yang berasal dari Tapanuli Selatan. Pada masa hidupnya Baba Wan Idris,
pondok ini termasuk salah satu pondok terbesar di Pattani dengan jumlah santri
lk 1.000 orang. Para santri bukan hanya datang dari kawasan selatan Thailand,
tetapi juga dari Bangkok, Chiang Mai, Kamboja, Myanmar, Malaysia, Brunei dan
Indonesia. Saat ini kita masih bisa menyaksikan saksi sejarah kejayaan pondok ini
yaitu ratusan pondok-pondok kecil tempat kediaman santri yang masih berdiri.
Kemasyhuran pondok ini bukan saja karena dipimpin oleh ulama besar (Baba Wan Idris)
yang terkenal di zamannya, tetapi juga karena banyaknya alumni pondok ini yang
menjadi ulama besar, pemimpin pondok dan memegang jabatan agama di
pemerintahan. Syaikul Islam Kerajaan Thailand saat ini (sejenis ketua umum MUI pusat
di Indonesia), Ustadz Haji Muhammad Yusuf adalah salah seorang alumni pondok
ini.
Sejak
sembilan tahun yang lalu pendidikan di pondok ini dibagi menjadi dua bagian:
bagian pelajaran ilmu-ilmu keislaman dengan menggunakan kitab kuning (Arab dan Arab
Melayu) dan bagian tahfidz. Bagian tahfidz dipimpin oleh Ustadz Abdul Qadir,
salah seorang putra Baba Wan Idris. Bagian ilmu-ilmu keislaman (pengajian
kitab) menggunakan dua sistem yaitu sistem tradisional (halaqah) dan sistem madrasah (sistem kelas). Sistem madrasah sudah
diperkenalkan sejak paruh kedua kepemimpinan Baba Wan Idris, walau mata
pelajarannya seratus persen ilmu-ilmu keislaman. Mudir madrasah ialah Ustadz
Abdul Rahman, abang dari Ustadz Abdul Qadir. Sedangkan Ustadz Ismail, adik dari
Ustadz Abdul Qadir, sebagai wakil kepala madrasah. Sang menantu Baba Wan Idris yaitu Baba Abdul Karim
adalah pimpinan tertinggi pondok dengan panggilan Tuan Guru atau Baba. Saat ini
jumlah santri pondok bagian tahfidz saat lk 150 orang laki-laki dan perempuan.
Jumlah santri pengajian ilmu-ilmu keislaman (pengajian kitab) juga berkisar di
angka yang sama. Selain itu pondok ini juga memiliki santri dewasa baik
pasangan suami istri maupun orang-orang yang sudah memasuki usia tua (duda dan janda).
Mereka tinggal di rumah-rumah yang berada dalam kompleks pondok. Di pondok ini,
baik kelas tempat belajar maupun asrama, di pisah antara santri laki-laki dan
perempuan.
No comments:
Post a Comment