Wednesday, August 14, 2019

Menapaki Sejarah Penyebaran Islam di Nusantara: Catatan Perjalanan Ke Patani, Thailand Selatan (Bagian Empat-Habis)








Perkenalan dengan Sejarawan Pattani

Dalam obrolan sepulang shalat jum’at, Baba Abdul Karim menyebut nama Baba Ismail Ishaq sebagai seorang ahli sejarah di Pattani. Tidak lama berselang beliau langsung menelpon Baba Ismail dan mengatakan, “Kita kedatangan seorang tamu dari Indonesia yang ingin menziarahi pondok-pondok di pattani dan ingin melakukan penelitian.” Kemudian Baba Abdul Karim memberikan handphone-nya ke saya, mengisyaratkan agar saya berbicara langsung dengan Baba Ismail. Melalui telepon, saya pun berkenalan dengan Baba Ismail. Baba Ismail berkenan datang ke pondok untuk bertemu dengan saya. Ia berjanji untuk datang besok pagi. Beliau juga menawarkan diri untuk memberikan bantuan yang diperlukan. Agenda esok paginya ialah menghadiri pengajian rutin di Masjid Jami’ Pattani yang akan diisi oleh Baba Ismail Sepanjang, pimpinan Pondok Sepanjang dan salah seorang ulama kharismatik di Pattani saat ini. Selanjutnya Baba Ismail akan menemani saya mengunjungi Pondok Dale, salah satu pondok besar di Pattani.

Manusia punya rencana, Allah jua yang memutuskan. Pagi itu saya diberitahu oleh Ustadz Abdul Qadir bahwa Baba Ismail tidak jadi datang. Acara pengajian di Masjid Jami’ batal karena ada sesuatu hal. Selain itu Baba Ismail kedatangan tamu di rumahnya. Baba Ismail menelpon saya, ia menyarankan saya untuk ikut rombongan ustadz dari pondok ke sebuah pondok tahfidz di Kampong Biara Tok Pasai pada sore hari nanti dan bertemu dengannya di sana. Sore itu akan diadakan rapat pengurus inti Persatuan Ulama tiga wilayah (Pattani, Yala dan Narathiwat) untuk membicarakan agenda safari (khuruj) yang akan diadakan pada minggu berikutnya. Sebelum shalat ‘ashar saya berangkat bersama Baba Abdul Karim dan Ustadz Abdul Qadir ke pondok tahfizh tersebut. Alhamdulillah saya bertemu dengan baba Ismail di pondok ini. saya mengikuti rapat ini sampai menjelang masuknya waktu shalat Maghrib.   
Setelah Rapat usai, kami berangkat menuju rumaha Baba Ismail. Baba Ismail hanya mampir sebentar dan langsung mengajak saya shalat maghrib di sebuah masjid baru, tidak jauh dari rumahnya. Setelah shalat, Baba Ismail menjelaskan nama kampong tersebut, yaitu Kampong Biara Tok Pasai. Kenapa biara? Karena sebelum Islam masuk ke Pattani, di kampong ini dulunya ada sebuah biara. Kenapa Tok Pasai? Tok Pasai adalah panggilan bagi Syekh Muhammad Sa’id yang berasal dari Yaman, tetapi sebelumnya berdakwah di Pasai, Aceh. Ulama ini dipandang sebagai pendakwah terawal ke Pattani. Syekh inilah yang mengislamkan raja Hindu Pattani masa itu, Phya Tu Nakpa Putra Phya Tu Jandra Mahayana.  Setelah memeluk Islam (1457), sang syekh menukar nama raja tersebut dengan Sultan Ismail Shah.

Setelah shalat maghrib, Baba Ismail mengajak saya makan malam di sebuah restoran. Kami menaiki mobil yang dikendarai oleh puteranya, Ustadz Hawari, yang baru saja tamat S1 di Al-Azhar, Kairo, Mesir. Sambil makan, Baba Ismail mulai bercerita tentang sejarah Pattani. Menurutnya sejak abad ke-6 Pattani sudah menjadi kerajaan besar dan memiliki peradaban yang tinggi dengan nama Kerajaan Langkasuka. Beliau menemukan bukti di sebuah buku yang ditemukannya di Bangkok yang berjudul, The Ancient City. Dalam buku tersebut diriwayatkan, pada 541 M kerajaan Langkasuka mengirim duta untuk mengunjungi kerajaan Cina. Raja Cina waktu itu menyuruh pelukis istana untuk melukis peta Pattani. Menurut buku tersebut, lukisan tersebut masih tersimpan di National Museum of China, di Beijing. Beliau juga menceritakan asal usul Maulana Malik Ibrahim (Sunan Ampel) yang menurutnya, berasal dari (ibu) Pattani dan (ayah) Champa. Beliau menganalisis nama Kerisik (yang dulunya nama tempat berdirinya istana Kesultanan Islam Pattani) dengan Gresik, tempat menetapnya Sunan Ampel di Jawa Timur. Berdasarkan hal ini, beliau berpendapat Sunan Ampel memberi nama tempatnya di Jawa sesuai dengan nama tempat tinggal sebelumnya (Kerisik, Pattani).  

Baba Ismail adalah seorang ahli sejarah Pattani khususnya, Nusantara umunya yang sering diundang sebagai nara sumber pada seminar-seminar terutama di Thailand dan Malaysia. Kecintaan adik ipar mantan Sekjen ASEAN, Surin Pitsuwan ini kepada sejarah Islam di Pattani terbukti dengan upayanya untuk menubuhkan Pusat Pemulihan Seni Budaya dan Sejarah Tempatan Wilayah Sempadan Selatan Thailand (PUSTA), di mana beliau sendiri sebagai presidennya. Selain membicarakan sejarah, beliau juga menceritakan hubungan dekatnya dengan alm. Ustadz Wan Mohd Saghir Abdullah, sang peneliti sejarah Islam, ulama dan manuskrip Nusantara. Ia menyebut Ustadz Wan Saghir sebagai gurunya. Ia juga menceritakan persahabatannya dengan Bapak Ahmad Mansur Suryanegara, sang penulis buku Api Sejarah yang terkenal di Indonesia. Baba Ismail bercerita, beliau menemani Ahmad Mansur mengunjungi tempat-tempat bersejarah di Pattani ketika yang terakhir melawat Pattani beberapa tahun yang lalu. Selain itu ia juga menceritakan pengalamannya mengunjungi beberapa daerah di Indonesia.

Setelah berdiskusi cukup panjang, malam itu saya di antar Baba Ismail ke sebuah hotel di pusat kota. Beliau berjanji menjemput saya pagi esok hari jam 6.30 dan mengantarkan saya ke terminal bus menuju Sungai Golok, perbatasan Thailand-Malaysia. Dalam perjalanan ke hotel, saya sempat diajak muter-muter dalam kompleks kampus Prince Songkhla of University, sebuah perguruan tinggi negeri terbesar di Pattani.  

Masjid Kerisik    
Sesuai dengan janjinya, jam 6.30 tepat, Baba Ismail sudah sampai di hotel. Dari hotel beliau mengajak saya sarapan di sebuah kedai dalam kota. Setelah sarapan, Ustadz Hawari bertanya apakah saya sudah mengunjungi masjid kerisik? saya jawab, belum. “Baik, sebelum ke terminal, kita singgah ke sana sebentar,” kataya. Saya berkata dalam hati, “memang dari kemarin saya ingin mengunjungi masjid bersejarah tersebut”. Namun karena kesuntukan masa, sepertinya saya tidak sempat lagi. Alhamdulillah Allah masih memberi saya kesempatan untuk mengunjungi masjid tua tersebut.
Sesampaimya di pekarangan Masjid Kerisik, Baba Ismail menjelaskan masjid ini didirikan pada tahun 1583,  pada masa pemerintahan Sultan Muzhafar Shah, putra Sultan Ismail Shah (Sultan Pattani yang pertama memeluk Islam). Karena itu masjid ini dikenal juga dengan nama Masjid Sultan Muzhafar Shah. Pada masa dahulu, masjid ini berada dalam kompleks Istana Kesultanan Pattani. Tidak jauh dari masjid ada sebuah sumur yang diberi nama Telaga Hang Tuah. Menurut Baba Ismail, Sultan Pattani memerintahkan rakyatnya membuat telaga tersebut pada saat Hang Tuah, panglima Kesultana Islam Melaka yang terkenal mengunjungi Pattani. Ini sebagai kenangan yang akan menjadi bukti sejarah kunjungan Hang Tuah ke Pattani. Untuk itu, nama Hang Tuah diabadikan pada sumur tersebut.

Di belakang papan nama masjid ditulis sejarah ringkas Masjid Kerisik. Di antara yang menarik adalah, bangunan masjid menggunakan batu bata merah yang dibuat dari tanah liat dicampur beras merah yang ditumbuk halus dan dicampur putih telur. Ini menunjukkan kearifan lokal (local genius) dan ketinggian peradaban Melayu Pattani waktu itu. Di halaman masjid terdapat replica meriam milik masyarakat Pattani. Ternyata Pattani pernah memiliki peradaban yang maju. Terbukti mereka sudah mampu memproduksi meriam pada suatu masa dahulu. Menurut Baba Ismail, meriam yang asli di bawa pihak kerajaan Thailand ke Bangkok dan disimpan di sebuah museum.
Baba Ismail juga menceritakan peristiwa berdarah April 2004 di masjid tua ini di mana 32 orang pejuang Muslim Pattani yang tewas setelah dibom oleh tentara kerajaan Thailand. Namun, ajaibnya, hanya atap masjid yang rusak, sedangkan dinding masjid tetap utuh. Setelah sedikit puas mendengarkan uraian Baba Ismail dan mengambil foto secukupnya, saya diantar ke terminal bus. Dari terminal ini saya menaiki van menuju Sungai Golok, perbatasan Thailand-Malaysia.








Monday, August 12, 2019

Menapaki Sejarah Penyebaran Islam di Nusantara: Kunjungan ke Patani,Thailand Selatan (Bagian Tiga)








Penelitian Sistem pendidikan Pondok (pesantren) di Pattani

Misi saya untuk meneliti sistem pendidikan di lembaga pendidikan tradisional (pondok) di Pattani hampir saja kandas. Pada awalnya ada rasa sedikit pesimis. Hampir saja perjalanan ke kota ini hampa, tak membuahkan hasil apa-apa. Ini karena sahabat yang sedianya saya ajak untuk menemani ke pondok tidak bersedia. “Saya bukan orang asli Pattani. Kalau saya datang ke pondok, orang akan mengenal dialek Melayu saya yang lain dari dialek Pattani. Saya asal Hat Yai bukan dari Pattani. Nanti orang curiga saya ini askar (tentara) atau intelijen,” begitu alasan sang sahabat. Menurutnya, panasnya suasana Pattani menyebabkan kecurigaan yang tinggi masyarakt lokal terhadap orang luar wilayah. Selain sukarnya transportasi umum di kota Pattani. Tidak ada angkutan kota (angkot), taksi dan buskota. Transportasi umum hanya Tuk-tuk, sejenis mobil kecil seperti “cigak baruak” di pedesaan Sumatera Barat. Situasi yang panas di Pattani juga membuat saya mengurungkan niat untuk bepergian sendirian, walaupun daftar nama-nama pondok di Pattani, lengkap dengan alamatnya, sudah saya kantongi.

Setelah tinggal dua hari di Pattani, pagi itu (Jumat, 25 Januari 2019), saya memutuskan untuk berangkat ke Kelantan, tempat tujuan penelitian selanjutnya. Berkat bantuan resepsionis hotel, saya dipesankan kendaraan motor (semacam ojek) untuk mengantar ke terminal bus menuju perbatasan Thailand-Malaysia. Dalam perkenalan dan percakapan dengan tukang ojek saya menjelaskan maksud kedatangan saya ke Pattani. Dia memberitahu saya bahwa ada pondok yang lokasinya tidak jauh dari sini dan dia bisa mengantar saya ke sana. Saya merasa sangat senang dan bersyukur. Akhirnya misi saya tercapai juga. Tukang ojek tersebut mengantarkan saya ke sebuah pondok yang letaknya sedikit di luar batas kota. Pondok tersebut ialah Al-Ma’had al-Idris yang lebih masyhur dengan Pondok Tok Yung. Di pondok ini saya langsung bertemu dan disambut dengan ramah oleh pimpinan pondok, Baba Haji Abdul Karim.

Baba Abdul Karim menceritakan, pondok ini didirikan oleh bapak mertuanya, Tuan Guru Baba Haji Wan Idris Bin Haji Wan Ali pada tahun 1390. Menurutnya, Baba Wan Idris melanjutkan pelajarannya ke Makkah setelah mendapatkan pendidikan agama di beberapa pondok di Pattani selama 12 tahun. Di antara guru Baba Wan Idris di Makkah ialah Syekh Muhammad Yasin al-Fadani, ulama besar kaliber internasional yang digelari Musnid al-Dunya dan putra dari Syekh Isa (berasal dari Kayu Tanam, Kab. Padang Pariaman, Sumatera Barat) dan; Syekh Abdul Qadir al-Mandili, seorang ulama besar yang berasal dari Tapanuli Selatan. Pada masa hidupnya Baba Wan Idris, pondok ini termasuk salah satu pondok terbesar di Pattani dengan jumlah santri lk 1.000 orang. Para santri bukan hanya datang dari kawasan selatan Thailand, tetapi juga dari Bangkok, Chiang Mai, Kamboja, Myanmar, Malaysia, Brunei dan Indonesia. Saat ini kita masih bisa menyaksikan saksi sejarah kejayaan pondok ini yaitu ratusan pondok-pondok kecil tempat kediaman santri yang masih berdiri. Kemasyhuran pondok ini bukan saja karena dipimpin oleh ulama besar (Baba Wan Idris) yang terkenal di zamannya, tetapi juga karena banyaknya alumni pondok ini yang menjadi ulama besar, pemimpin pondok dan memegang jabatan agama di pemerintahan. Syaikul Islam Kerajaan Thailand saat ini (sejenis ketua umum MUI pusat di Indonesia), Ustadz Haji Muhammad Yusuf adalah salah seorang alumni pondok ini.

Sejak sembilan tahun yang lalu pendidikan di pondok ini dibagi menjadi dua bagian: bagian pelajaran ilmu-ilmu keislaman dengan menggunakan kitab kuning (Arab dan Arab Melayu) dan bagian tahfidz. Bagian tahfidz dipimpin oleh Ustadz Abdul Qadir, salah seorang putra Baba Wan Idris. Bagian ilmu-ilmu keislaman (pengajian kitab) menggunakan dua sistem yaitu sistem tradisional (halaqah) dan sistem madrasah (sistem kelas). Sistem madrasah sudah diperkenalkan sejak paruh kedua kepemimpinan Baba Wan Idris, walau mata pelajarannya seratus persen ilmu-ilmu keislaman. Mudir madrasah ialah Ustadz Abdul Rahman, abang dari Ustadz Abdul Qadir. Sedangkan Ustadz Ismail, adik dari Ustadz Abdul Qadir, sebagai wakil kepala madrasah.  Sang menantu Baba Wan Idris yaitu Baba Abdul Karim adalah pimpinan tertinggi pondok dengan panggilan Tuan Guru atau Baba. Saat ini jumlah santri pondok bagian tahfidz saat lk 150 orang laki-laki dan perempuan. Jumlah santri pengajian ilmu-ilmu keislaman (pengajian kitab) juga berkisar di angka yang sama. Selain itu pondok ini juga memiliki santri dewasa baik pasangan suami istri maupun orang-orang yang sudah memasuki usia tua (duda dan janda). Mereka tinggal di rumah-rumah yang berada dalam kompleks pondok. Di pondok ini, baik kelas tempat belajar maupun asrama, di pisah antara santri laki-laki dan perempuan.

Friday, August 9, 2019

Catatan Perjalanan ke Patani, Thailand Selatan (Bagian Dua)





Bangkok-Narathiwat-Pattani




Keinginan untuk melawat Pattani hampir saja hilang ditelan waktu. Apalagi sejak Februari 2018 saya sudah menetap kembali di Indonesia. Namun ternyata nasib untuk menginjak bumi Pattani masih ada. Kunjungan saya ke Pattani kali ini adalah dalam rangka penelitian sistem pendidikan di institusi pendidikan tradisional (pondok). Perjalanan saya ke Pattani dimulai dengan penerbangan Jakarta-Bangkok karena memenuhi undangan seorang sahabat di sana. Dari Bangkok saya terbang ke Narathiwat, karena memang tidak ada penerbangan langsung Bangkok-Pattani.    

Setelah terbang satu jam lima belas menit, pesawat yang saya tumpangi mendarat di Narathiwat Airport. Transportasi dari airport ke pusat kota adalah van (semacam mini bus yang memuat 13 penumpang). Setelah membayar harga tiket 80 Bath (lk Rp. 35.000) van membawa saya menuju terminal bus Narathiwat yang terletak di pusat  kota. Dari sini saya naik van lagi menuju Pattani. Sejak menginjakkan kaki di Narathiwat Airport saya sudah merasakan hawa alam Melayu. Saya seolah-olah berada di Malaysia. Suasana alam dan lingkungannya serasa berada di daerah-daerah di Malaysia seperti Perak, Terengganu dan Kedah. Narathiwat adalah daerah pesisir yang tiada perbukitan. Perkampungan penduduk yang menyatu dengan perkebunan adalah pemandangan utama dalam perjalanan Narathiwat-Pattani. Nampaknya tanaman utama perkebunannya adalah kelapa. Diselingi tanaman lain seperti pohon pisang. Kadang-kadang saya serasa berada di daerah pesisir di sumatera.

Jam 13.55 siang van berangkat menuju Pattani. Ongkos Narathiwat-Pattani sebanyak 110 Bath. Bus melaju di jalan yang lebar dan mulus dengan dua jalur terpisah. Saya sedikit berdecak kagum, walaupun berada di daerah yang paling ujung dari ibukota Negara, jalan antar propinsi di Thailand selatan ini dibangun dua jalur. Penulis tiba-tiba ingat jalan-jalan propinsi di sumatera yang masih satu jalur. Sepanjang perjalanan kita menyaksikan pemandangan perkampungan penduduk yang menyatu dengan perkebunan. Sesekali terlihat bentangan sawah, bangunan sekolah, warung/ toko, moshalla, dan masjid.

Setelah menempuh perjalanan lebih kurang dua jam, van yang saya tumpangi mulai memasuki kota Pattani. Kebanyakan bangunan di kota ini adalah bangunan lama yang sederhana dan tidak banyak terlihat bangunan tinggi. Suasana kota Muslim langsung terasa. Terlihat para muslimah yang berjilbab. Banyaknya restoran dan kafe-kafe halal yang dimiliki oleh Muslim. Jadi tidak ada masalah dalam mencari restoran halal di Pattani, seperti di Bangkok. Saya kembali merasa seperti berada di kota-kota di utara Malaysia. Dalam perjalanan menuju hotel saya sempat menyaksikan pemandangan sungai Pattani yang membelah pusat kota dengan perahu-perahu nelayan yang sedang bersauh. Sisi kiri dan kanan sungai dibangun dan dibenahi dengan indah.    

Kota Pattani, ibukota wilayah Pattani terletak di daerah yang berdekatan dengan pantai. Secara kultural, seperti dua provinsi lainnya di selatan Thailand (Yala dan Narathiwat), penduduk asli Patttani adalah etnis Melayu yang beragama Islam. Karena itu wajah mereka tidak berbeda dengan penduduk melayu Malaysia umumnya. Sedangkan bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Melayu (dengan dialek Kelantan) dan bahasa Thailand. Jadi secara kultural mereka lebih dekat dengan masyarakat Melayu Malaysia.

Pattani Kembali Memanas
Sewaktu masih di Bangkok, sahabat saya di Bangkok sudah menceritakan bahwa situasi di Pattani kembali memanas. Menurutnya, hal ini dipicu oleh terbunuhnya dua orang rahib dalam vihara mereka. Sesampai di Pattani, seorang sahabat yang berasal dari Hat Yai dan memiliki restoran di Jalan Universiti, berdekatan Prince Songkhla of University menceritakan lebih detail lagi. Menurutnya, cerita berawal dari terbunuhnya seorang imam dalam perjalanan pulang ke rumahnya pada suatu malam. Pembunuhnya tidak diketahui. Setelah peristiwa tersebut beredar pesan di media sosial “line”, bahwa pembunuhan imam itu akan dibalas. Namun pengirim pesan tidak diketahui. Beberapa hari setelah itu, dua orang rahib terbunuh dalam vihara mereka. Pembunuh pun tidak diketahui dengan pasti.

Kasus ini membuat situasi di Pattani kembali memanas. Sejak itu pos-pos militer di dalam dan luar kota kembali melakukan pengawalan ketat. Berada di pattani serasa berada di kota yang sedang berkecamuk perang. Military check-point yang rapat di setiap ruas jalan kota dengan tentara yang bersenapan lengkap, membuat nyali sedikit ciut. Begitu juga pemandangan yang penulis saksikan dalam perjalanan Narathiwat-Pattani. Dalam jarak lima kilometer akan ditemui pos militer.

Sepertinya penduduk Pattani hidup dalam cengkeraman ketakutan. Mereka terlihat sangat berhati-hati dan waspada. Walaupun sepintas lalu, kehidupan berjalan normal. siswa tetap pergi ke sekolah, pegawai tetap pergi bekerja di kantor, dan pedagang tetap aktif membuka tokonya dan kaum muslim tetap pergi shalat berjamaah di masjid. Namun, bila malam menjelang, terutama setelah shalat isya’ kehidupan berubah drastis. Pattani berubah bagaikan kota mati yang mencekam. Sahabat saya mengajak saya keliling kota pattani setelah makan malam. Sang sahabat menunjukkan kepada saya jalanan yang lengang. Kedai-kedai yang sepi. Warga kota ketakutan keluar pada malam hari, terutama umat Budha yang merupakan minoritas di kota ini, jelasnya. Hanya satu jalan yang ramai pada malam hari, yaitu jalan yang mengarah ke pintu masuk Prince Songkhla of Universiti yang dikenal dengan nama Lorong Universiti.

Konflik di Pattani khususnya, selatan Thailand umumnya berakar pada sejarah ditaklukkannya kesultanan Islam Pattani Darussalam, yang meliputi Yala dan Narathiwat oleh kerajaan Siam (Thailand) pada penghujung abad ke-18. Pada masa Kolonial Inggris, masuknya tiga wilayah mayoritas Muslim ini ke dalam kerajaan Siam (Thailand) dipertegas melalui perjanjian antara pihak kolonial British (Inggris) dengan kerajaan Thailand pada tahun 1909. Hal ini, nampaknya, menyisakan ketidakpuasan di hati sebagian masyarakat selatan Thailand sampai saat ini.  

Konflik berskala meluas dan brutal berlangsung mulai tahun 2004. Pada April tahun itu, terjadi penyerbuan dan pengeboman ke masjid Kerisik (Krue Se) yang menewaskan 32 orang (diceritakan kepada saya oleh Baba Ismail Ishak Benjasmith, salah seorang ahli sejarah di Pattani). Eskalasi konflik terus meningkat, hingga setengah tahun kemudian terjadi pembantaian Tak Bai di Narathiwat yang mengakibatkan banyak warga Muslim gugur. Sejak itu, pemerintah di bawah PM Thaksin Sinawatra (PM Thailand saat itu) menerapkan jam malam dan darurat militer lebih tegas.  Konflik itu ibarat bara dalam sekam yang hingga saat ini terus berlangsung. Setelah ledakan yang menewaskan dua orang di hotel CS Pattani, pada ahad 16/3/2008, kekerasan militer semakin sering terjadi di wilayah selatan. 

Menurut Ustadz Abdul Qadir, mudir madrasah bagian Tahfizh Pondok Tok Yung, berlarut-larutnya konflik di Pattani disebabkan masih adanya kelompok Muslim Pattani yang menginginkan kemerdekaan (kelompok separatis) dari kerajaan Thailand. Namun, menurut ustadz yang mendapatkan pendidikan tahfisz di Pakistan ini, mayoritas ulama Pattani tidak setuju dengan kelompok tersebut. Bagi para ulama, Umat Islam Selatan Thailand tidak perlu menuntut kemerdekaan politik dari kerajaan Thailand. Ini karena kerajaan sudah memberi kebebasan (kemerdekaan) beragama bagi semua pemeluk agama, termasuk umat Islam. Jadi hal itu sudah cukup. (Bersambung).   

Thursday, August 8, 2019

MENAPAKI SEJARAH PENYEBARAN ISLAM DI NUSANTARA: CATATAN PERJALANAN KE PATANI, SELATAN THAILAND

MENAPAKI SEJARAH PENYEBARAN ISLAM DI NUSANTARA: CATATAN PERJALANAN KE PATANI, SELATAN THAILAND
Oleh: Ridwan Arif, Ph.D, Tk. Bandaro
(Bagian Satu)


Pattani: Salah Satu Pusat Penyebaran Islam di Nusantara
Nama Pattani (dalam bahasa Thailand dan Fathani dalam tulisan Arab Melayu) sudah lama saya kenal. Ini karena, selain pernah punya teman sewaktu kuliah Master (S2) di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), saya pernah tinggal cukup lama di Malaysia. Tentu saja nama Pattani cukup familiar bagi saya karena, walaupun tidak berbatasan langsung dengan Malaysia, Pattani adalah salah satu provinsi (di selatan Thailand, disebut wilayah) di kawasan SelatanThailand yang berdekatan dengan perbatasan Malaysia-Thailand.

Walau cukup lama tinggal di Malaysia, selama kurun waktu tersebut saya tidak pernah mengunjungi Pattani. Kota di kawasan Selatan Thailand yang pernah saya kunjungi hanyalah Hat Yai, sebuah kota metropolitan dan terbesar di provinsi Songkla (kalau tidak salah tahun 2008), sebuah provinsi bersebelahan dengan Pattani. Salah satu faktor yang membuat saya menunda niat mengunjungi Pattani ialah negeri ini pada waktu itu sedang berada dalam konflik yang dipicu oleh ketegangan antara pejuang Muslim separatis Pattani dengan kerajaan Thailand.

Pattani cukup menarik perhatian saya. Ini karena, selain sebagai salah wilayah berpenduduk mayoritas Muslim di samping Yala dan Narathiwat, ia juga merupakan serambi Mekkahnya Thailand. Sejarah perkembangan Islam di Asia Tenggara (Nusantara) mencatat Pattani sebagai salah satu pusat penyebaran Islam terawal di kawasan ini. Sebutan Nusantara sendiri mencakup propinsi-propinsi di selatan Thailand yang salah satunya adalah Pattani. Sejak dulu di negeri ini banyak berdiri institusi pendidikan Islam yang dikenal dengan istilah “pondok”. Negeri ini juga melahirkan ramai ulama besar yang tidak hanya dikenal di Nusantara, tetapi juga di Timur Tengah. Ramai ulama dari Pattani yang merupakan alumni Timur Tengah (terutama Makkah-Madinah). Pada masa dahulu, di Makkah, para pemuda pelajar asal Nusantara dikenal dengan istilah “orang Jawa” (Jawi). Bahkan di antara pelajar Pattani, ada yang kemudian bermukim dan menjadi guru di Masjidil Haram, Mekkah al-Mukarramah sebagaimana pelajar-pelajar dari daerah lain di Nusantara. Kita baca riwayat hidup ulama-ulama besar di Sumatera, Kalimantan dan Jawa pada awal abad ke-20, sewaktu belajar di Makkah-Madinah, di antara guru mereka adalah Ulama yang berasal dari Pattani dan Kelantan.

Di antara ulama Pattani yang terkenal ialah Syekh Daud bin Abdullah al-Fathani. Beliau adalah salah seorang ulama besar Nusantara terkemuka abad ke-18/19 yang kemasyhurannya selevel dengan Syekh Abdul Samad al-Falimbani (Pengarang Kitab Sair al-Salikin) dari Palembang, Syekh Arsyad al-Banjari (Pengarang Kitab Perukunan) dan Syekh Muhammad Nafis al-Banjari (pengarang Kitab Al-Durr al-Nafis). Dua ulama terakhir berasal dari Banjarmasin, Kalimantan Barat. Selain ahli dalam berbagai ilmu keislaman Syekh Daud al-Fathani juga seorang penulis yang prolifik (pengarang produktif). Sampai saat ini, kitab-kitab karangannya masih diterbitkan dan bisa didapatkan di toko-toko buku di Thailand Selatan, Kelantan dan Kuala Lumpur. Tidak berlebihan jika Prof. Azyumardi Azra menyatakan, Syekh Daud al-Fathani adalah ulama Nusantara paling produktif di zamannya. Alhamdulillah saya mengoleksi beberapa karya beliau. Diriwayatkan, Syekh Daud al-Fathani menganut Tarekat Syattariah dalam bidang tasawuf. 

Zaman berikutnya, ramai muncul ulama-ulama besar sekaligus pengarang yang muncul di Pattani. Salah seorang tokoh ulama lain yang menonjol dari Pattani adalah Syekh Wan Ahmad al-Fathani. Menurut Tuan Guru Wan Mohd. Shagir Abdullah (selanjutnya disebut TG Shaghir), seorang yang mengabdikan umurnya untuk meneliti khazanah intelektual ulama Nusantara dan sekaligus cucu Syekh Wan Ahmad, Syekh Wan Ahmad adalah ulama Nusantara yang berjasa mengusahakan penerbitan karya ulama-ulama Nusantara di Timur Tengah. Syekh Wan Ahmad, jelas TG Shaghir, melobi dan berusaha meyakinkan Sultan Turki waktu itu agar mau mensponsori penerbitan karya-karya tersebut. Usaha Syekh ini membawa hasil dengan diterbitkannya karya-karya ulama Nusantara di Kairo, Mesir. Syekh Wan Ahmad tidak hanya mengusahakan penerbitan tetapi juga menjadi penyunting (editor atau pentashih) naskah-naskah tersebut sebelum dicetak. Itulah awal kisah penerbitan karya-karya ulama Nusantara di Timur Tengah dan beredar di dunia Islam, walau karya-karya tersebut ditulis dalam bahasa Melayu (tulisan Jawi/ Arab-Melayu). Salah satu kitab yang termasuk dalam cetakan ini ialah kitab Tafsir Turjuman al-Mustafid karya Syekh Abdul Ra’uf al-Fanshuri (al-Sinkili) yang merupakan kitab Tafsir al-Qur’an lengkap yang pertama dalam Bahasa Melayu.

TG Shaghir (w. 2007), sangat berjasa memperkenalkan ulama-ulama Pattani khususnya, Semenajung Tanah Melayu dan Nusantara umumnya, ke dunia Islam dan melestarikan karya-karya mereka. Untuk mencapai misinya TG Shaghir mendirikan lembaga “Khazanah Fathaniah” sebuah lembaga penelitian dan penerbitan yang berpusat di Kuala Lumpur. Lembaga ini juga mendirikan toko buku yang menjual kitab-kitab ulama Nusantara yang telah diterbitkan kembali. Selain itu, Khazanah Fathaniah mengadakan program kajian karya ulama Nusantara, dengan mengundang ulama-ulama dengan latar belakang pendidikan pondok (Pesantren) mengkaji kitab tertentu karya ulama-ulama Nusantara dalam berbagai disiplin ilmu Keislaman. TG Shaghir mengabdikan dirinya dan menghabiskan umurnya hanya untuk meneliti, mengkaji ulama-ulama Nusantara (termasuk Indonesia) dan melestarikan karya-karya mereka. (Uraian lebih detail tentang Ust. Wan Mohd. Shaghir Abdullah dan pengabdiannya terhadap ulama Nusantara dan karya-karya mereka, insyaallah akan saya tulis dalam tulisan tersendiri).

Wednesday, March 13, 2019

MENYIKAPI KEMATIAN



MENYIKAPI KEMATIAN

Mungkin banyak yang tidak suka mendengar kata “kematian” atau “mati”. Mungkin juga ramai yang menghindar dari mengingat kematian. Ketika ada di antara kita yang berbicara tentang kematian, mungkin ada teman yang nyeletuk, “Ih seram, ngomongin mati.” Ini karena mengingat mati mungkin menyebabkan lemahnya semangat, membuat selera patah, memadamkan gelora hawa nafsu sehingga seseorang tidak merasa bersemangat lagi menjalani hidup di dunia ini.

Adalah dimaklumi jika banyak yang tidak suka bicara soal kematian. Karena kematian adalah menakutkan. Umumnya setiap manusia takut mati, termasuk penulis artikel ini. Ketakutan terhadap disebabkan, berat berpisah dengan dunia. Kedua takut terhadap nasib di akhirat, jangan-jangan bukannya mendapat nikmat malah mendapat azab. Sebagian lagi mungkin belum siap menghadapi mati karena banyaknya dosa, belum sempat bertobat dan kurangnya amal ibadah.  

Kalau dipikir-dipikir, mengapa kita takut mendengar kata mati atau kematian? Atau kenapa kita takut mati? Bagaimanapun semua makhluk termasuk kita pasti mengalami kematian. Kematian bagaikan jalan yang, tidak dapat tidak, harus ditempuh oleh semua makhluk. Apakah dengan takut mati kita bisa menghindar dari kematian?

Jika kita menghindar dari mengingat dan membicarakan kematian, dalam Islam hal ini justru sesuatu yang positif. Karenanya Rasulullah SAW menganjurkan umatnya untuk sering-sering mengingat mati. Kenapa demikian? Mengingat mati adalah “alarm” pengingat bagi manusia yang lalai, leka dan terlena oleh kehidupan dunia sehingga melupakan kehidupan yang abadi yaitu kehidupan akhirat. Sibuk dengan kehidupan dunia kadang-kadang menyebabkan seseorang tidak ambil peduli dengan kewajibannya sebagai seorang hamba. Enggan menunaikan ibadah yang wajib seperti shalat, puasa, zakat dan haji dan sebagainya; dan malas membuat ibadah sunat. Lupa dengan kehidupan akhirat terkadang membuat seseorang tenggelam dalam perbuatan maksiat dan dosa seperti berjudi, mencuri, merampok, berzina, meminum minuman keras, memakai narkoba, menzalimi manusia, memakan riba; memelihara sifat-sifat tercela seperti iri, sombong, menghasut, memfitnah, mengadu-domba, dan sebagainya. 

Dalam kehidupan sehari-hari kita sering menyaksikan fenomena kematian. Mungkin salah seorang anggota keluarga kita, tetangga, kerabat, sahabat, teman, atau kenalan kita. Berita duka juga sering kita dapatkan di media baik cetak maupun elektronik. Apalagi di zaman yang canggih ini, kemajuan di bidang teknologi informasi dan komunikasi, kekerapan kita mendapat berita duka meningkat dari masa-masa sebelumnya. Kita menyaksikan berita duka yang dipos oleh sahabat-sahabat kita melalui facebook, twitter dan media-media sosial lainnya.

Bagaimanakah reaksi kita menyaksikan fenomena kematian? Adakah fenomena ini menarik perhatian kita atau hanya berlalu begitu saja tanpa meninggalkan kesan apa-apa di hati dan pikiran kita? Sebagai seorang mukmin, fenomena kematian yang kita saksikan di alam nyata atau berita duka yang kita dapatkan melalui media hendaknya menyentuh hati kita. Fenomena kematian yang kita saksikan hakikatnya adalah baik karena ia mengingatkan kita akan hari akhirat. Fenomena ini hendaknya menyentak kesadaran kita bahwa kita sebagai manusia, makhluk Allah SWT juga akan mengalami hal yang serupa. Walaupun kita tidak tahu kapan waktunya, tapi kematian pasti menyapa kita.
Peristiwa kematian yang kita saksikan hendaknya menggiring kita kepada sebuah perenungan yang mandalam. Bahwa dengan kematian berakhirlah episode kehidupan seorang bani Adam di dunia ini dan bermulanya episode baru yaitu alam kubur sebagai muqaddimah dari alam akhirat. Coba tanya diri kita, kira-kira bagaimanakah nasib saya di akhirat kelak? mendapat nikmat kah atau mendapat siksa dan azab? pertanyaan ini akan mendorong kita untuk melakukan perhitungan (muhasabah) terhadap apa yang telah kita perbuat selama ini.    

Cobalah lacak kembali rekam jejak perjalanan hidup kita selama ini. Bagaimanakah keimanan kita? sudahkan ia teguh dan kokoh? Untuk apa umur kita habiskan selama ini? Lebih banyakan mana, untuk dunia atau untuk akhirat? Bagaimanakah amal kita selama ini? Banyakan yang baik atau yang buruk? Bagaimanakah ibadah kita? Masih sedikit atau sudah banyak? Bagaimanakah hubungan kita dengan Allah SWT dan sesama manusia? Bayangkan berapa banyaknya dosa-dosa kita, betapa besarnya dosa kita, betapa sedikitnya amalan kita.  Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas akan memberi tahu kita bagaimana nasib kita di akhirat kelak.

Kemudian sadarkan diri kita, bahwa kalau kematian sudah menyapa dan jasad sudah berada di liang lahad, tiada waktu untuk mengejar ketertinggalan selama ini. Yang tinggal hanya penyelasan yang tiada berguna. Tanyalah diri kita, “sudah siapkah kau menghadapi mati?” “sudah cukupkah bekal untuk hari akhirat?”

Karena itu, sebelum ajal sampai, sebelum malaikat maut datang mencabut nyawa kita, kita masih memiliki waktu dan kesempatan untuk berbenah. Bertobat kepada Allah SWT, pohonlah ampunan-Nya atas segala kesalahan dan dosa-dosa yang telah kita lakukan selama ini dan berjanjilah untuk tidak mengulanginya lagi. Lalu sibukkan diri dengan ibadah dan amal saleh serta dekatkan diri kepada-Nya. Bersiaplah menghadapi kematian, sehingga kapanpun ia datang kita telah siap.

Langkah-langkah yang mesti segera dilakukan:
1.  Bertobat
2.  Menghindari maksiat (dosa)
3. Mensucikan rohani dari sifat-sifat tercela
4. Menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji
5. Mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan ibadah wajib dan memperbanyak ibadah sunat
6. Berbuat baik kepada sesama 
7. Manfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk hal-hal yang positif.

Tulisan ini juga sebagai bentuk mengingatkan diri sendiri.

Semoga bermanfaat.
Kuala Lumpur, 22 Rejab 1438
 19 April 2017


Tuesday, March 12, 2019

SANG MUSAFIR

Oleh: Ridwan Arif 

Di tengah teriknya matahari terlihat seorang musafir sedang berjalan. Langkahnya kelihatan berat. Meski perlahan, ia tetap berusaha melangkahkan kakinya. Ia berjalan menunduk dan sesekali mengangkat wajahnya. Kadang-kadang dia melihat jauh ke depan sambil mengernyitkan dahi. Dari mulutnya keluar ocehan, "Masih jauhkan perjalanan ini? Berapa lama lagikah aku akan sampai di tujuan?" Tiba-tiba bayangan masa lalu pun berkelabat di depan matanya. Duka-nestapa, halangan-rintangan, onak dan duri yang ditemuinya di awal perjalanan kembali melintas di pikirannya. Hampir saja kegetiran masa lalu itu membuatnya jatuh ke jurang keputus asaan. "Ah, tidak mungkin perjalanan ini kulanjutkan. Sungguh terasa berat dan sukar. Dari awal perjalanan hingga hari ini, bermacam-macam tantangan dan ujian yang ku hadapi. Rasanya aku sudah lelah. Sepertinya aku harus menghentikan perjalanan ini. Tak mungkin rasanya aku kan sampai di tujuan. Tak mungkin, tak mungkin." 

Tiba-tiba sebuah bisikan halus hadir dalam jiwanya, "Sir wa-jid wa-la taksal" (Lanjutkan perjalanan, bersungguh-sungguhlah dan jangan malas!). Bisikan itu terngiang-ngiang di telinganya. "Memang engkau telah lama berjalan dan banyak duka nestapa yang kau temui. Namun kegetiran itu sekarang telah berkurang sedikit-demi sedikit. Telah jauh perjalanan yang telah engkau lewati dan engkau telah dekat ke tujuanmu. Maka jangan malas dan putus asa. Bangkit, bangkit, ayo bangkit!" 

Ia tersentak dari lamunan. Bisikan itu telah membangkitkan jiwanya yang mulai melemah. Semangatnya kembali membara. Sang musafir pun mempercepat langkahnya bagaikan domba dikejar serigala. Ternyata bisikan itu telah membuat semangatnya kembali mendidih. Dia tepis bisikan-bisikan negatif yang mematahkan. Dia tidak menghiraukan ocehan-ocehan yang memudarkan cita-citanya. Walaupun badannya terasa sudah sangat lelah, namun dia tetap memacu langkahnya. Dengan langkah pasti ia teruskan perjalanan. Ia teringat kembali firman Tuhannya “Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya yang berputus asa dari rahmat Allah hanyalah orang-orang yang kafir”. Dia tersadar, “Sebagai seorang mu’min, saya tidak boleh putus asa. Tuhanku Maha Kuasa. Tiada yang mustahil bagi-Nya. Aku harus optimis, bahwa Allah Maha Kuasa menyampaikanku ke tujuan. Kewajibanku hanya berikhtiar semaksimal mungkin, berdoa dan bertawakkal. Bagaimanapun buruknya keadaan, aku tidak boleh pesimis,” gumamnya dalam hati.” Ia teringat sebuah kata-kata mutiara “Bagaimanapun gelapnya malam, fajar pasti kan menyingsing”.

Kuala Lumpur, Jum'at 8 Juli 2011, Jam 22.37